Banyuwangi – Konflik agraria di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, kembali mengemuka menyusul diterbitkannya putusan Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya Nomor 697/PDT/2025/PT SBY tanggal 16 September 2025.
Putusan tersebut dinilai memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor 181/Pdt.G/2024/PN.Byw.
Dalam pertimbangan hukumnya, tanah Desa Pakel dinyatakan tidak termasuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) PT Bumisari, sehingga sertifikat yang diterbitkan dari hasil pemecahan HGU dinilai cacat hukum.
Putusan ini menjadi perhatian publik karena memperpanjang daftar konflik lahan yang telah terjadi antara warga Desa Pakel dan PT Bumisari sejak tahun 1985.
Amir Ma’ruf Khan, saksi dalam perkara ini, menjelaskan kepada awak media pada Kamis (9/10/2025) bahwa tanah negara di Desa Pakel telah dikuasai secara sepihak oleh PT Bumisari sejak tahun 1985.
“Berdasarkan putusan PT Surabaya Nomor 697, terbukti tanah negara di Desa Pakel diserobot PT Bumisari sejak tahun 1985. Karena perusahaan tidak mengajukan upaya kasasi, maka secara hukum PT Bumisari dianggap mengakui penyerobotan itu,” ungkap Amir.
Amir memaparkan bahwa tanah di Desa Pakel merupakan tanah negara berdasarkan surat izin membuka tanah dari Bupati Banyuwangi tanggal 11 Januari 1929 seluas 4.000 bau, yang diberikan kepada tiga warga. Kemudian, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 juncto Permendagri Nomor 3 Tahun 1979, tanah bekas hak barat tersebut secara resmi beralih status menjadi tanah negara sejak 24 September 1980.
Namun, pada tahun 1985, PT Bumisari diduga mulai menguasai lahan tersebut dengan mengantongi Sertifikat HGU Nomor 8 tanggal 26 November 1985 yang berlokasi di Desa Songgon, Kecamatan Songgon. Sertifikat ini kemudian disebut-sebut menjadi dasar perusahaan untuk mengklaim wilayah yang masuk dalam kawasan Desa Pakel.
Menurut Amir, pada tahun 2004 PT Bumisari melakukan perpanjangan masa berlaku HGU No. 8 (Desa Bayu) dan HGU No. 1 (Desa Kluncing) berdasarkan SK Kepala BPN RI Nomor 155/HGU/BPN/2004.
Akan tetapi, dalam praktiknya, perusahaan disebut telah memecah HGU No. 8 menjadi tiga bagian—HGU 00295, 00296, dan 00297—dengan mengubah alamat menjadi “Desa Banyuwangi” dan luas yang tidak sesuai dengan data awal.
“Perubahan alamat dan luas tanah dari dokumen aslinya itu adalah bentuk pemalsuan dokumen negara sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP,” tegas Amir.
Ia menuding, tindakan tersebut disahkan oleh Kepala BPN Banyuwangi melalui surat kepada Kapolresta Banyuwangi Nomor 992/600.1.35.10/VII/2024, yang menyatakan bahwa Desa Pakel masuk dalam wilayah HGU PT Bumisari setelah adanya “pemekaran desa tahun 2015”. Padahal, lanjut Amir, kepala Desa Bayu (5 Juni 2025) dan kepala Desa Songgon (13 Juni 2025) telah memberikan keterangan resmi bahwa tidak pernah terjadi pemekaran atau perubahan batas wilayah desa pada tahun tersebut.
Dalam penjelasannya, Amir juga menuding adanya persengkokolan antara PT Bumisari dan pejabat BPN Banyuwangi untuk melegalkan penguasaan tanah negara.
Ia menyebut tindakan itu melanggar Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, karena mengandung unsur penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau pihak lain.
“Kami menduga ada KKN yang melibatkan pejabat pertanahan dan pihak perusahaan, karena faktanya mereka menggunakan dokumen palsu untuk menguasai tanah negara di Desa Pakel,” ujarnya.
Dalam amar pertimbangannya, Pengadilan Tinggi Surabaya menegaskan bahwa tanah Desa Pakel tidak termasuk dalam wilayah HGU PT Bumisari, dan menyatakan bahwa surat keputusan Kepala BPN Banyuwangi yang menyebut tanah Pakel masuk HGU 00295, 00296, dan 00297 bertentangan dengan SK BPN Pusat No. 155/HGU/BPN/2004. Dengan demikian, sertifikat hasil pemecahan tersebut dinyatakan batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat.
“Ini kemenangan moral bagi rakyat Desa Pakel yang selama puluhan tahun berjuang menuntut keadilan,” kata Amir.
Sebelumnya, manajemen PT Bumisari Plantation melalui siaran pers pada tahun 2024 sempat membantah tuduhan intimidasi terhadap petani Pakel, dan menegaskan bahwa seluruh aktivitas perusahaan dilakukan di atas lahan berstatus sah berdasarkan peraturan yang berlaku.
Namun, putusan terbaru PT Surabaya ini berpotensi mengubah arah penyelesaian konflik agraria yang telah berlangsung lebih dari empat dekade tersebut.